Senin, 11 Juli 2011

Kondisi Hutan dan Lahan Aceh Utara

            Laju kerusakan hutan dan lahan telah menjadi keprihatinan banyak pihak. Penebangan dan perdagangan kayu (illegal logging dan illegal timber trade), konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan,  eksploitasi hutan yang berlebihan dimasa lalu serta berbagai aktivitas lainnya yang terjadi selama ini telah mengakibatkan semakin meningkatnya luas degradasi hutan dan lahan kritis. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Utara Tahun 2006, luas kawasan hutan kabupaten Aceh Utara  adalah 80.103 ha yang terdiri dari 7879 ha hutan lindung yang berada diempat kecamatan ( kecamatan Meurah Mulia seluas 845 ha, Paya Bakong seluas 650 ha, Cot Girek seluas 4.398 ha dan kecamatan Langkahan seluas 1.986 a), 793 ha kawasan konservasi, 71.431 ha kawasan produksi. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yaitu seluas 329.686 ha, maka luas kawasan hutan di kabupaten Aceh Utara hanya tinggal 24.29 % .
Sumber daya hutan sebagaimana tersebut diatas, masih dibawah batas minimal yang ditetapkan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu 30% dari luas wilayah, sehingga daya dukung kawasan hutan tidak seimbang dengan luas wilayah kabupaten Aceh Utara.
Seiring dengan bertambahnya penduduk dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan sendirinya kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan juga akan meningkat. Dampaknya, pembukaan dan peralihan fungsi sumber daya hutan juga meningkat. Dalam rangka mengantisipasi tingkat kerusakan hutan yang semakin parah dan kaitannya dengan perubahan iklim serta keinginan untuk menata kembali sumber daya hutan Aceh, maka pemerintah Aceh pada tanggal 6 Juni 2007 menetapkan sebuah keputusan tentang Moratorium Logging yang merupakan langkah awal untuk menata kembali hutan dan kehutanan kabupaten Aceh Utara dengan harapan sumber daya hutan akan lestari hingga generasi berikutnya.
Namun hingga saat ini, moratorium logging belum dapat diimplementasikan secara optimal. Fakta dilapangan menunjukkan masih maraknya terjadi kegiatan illegal logging dan perambahan hutan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Dengan dikeluarkannya kebijakan tentang moratorium logging oleh Gubernur Aceh, maka semua HPH/HPI sudah tak beroperasi lagi. Oleh karena itu kondisi areal konsesi ini boleh dikatakan seperti tanah tidak bertuan sehingga terjadi open acces. Dampak dari open acces ini adalah terjadinya kegiatan perambahan dan illegal logging.  Umumnya masyarakat lokal sebagai pelaku illegal logging dan perambah hutan melakukan kegiatan ini dapat dikatakan karena terpaksa, dimana faktor kemiskinan masyarakat lokal dan kurang/bahkan tidak adanya sentuhan para pihak atau tidak adanya alternative livehood, sehingga membuat mereka terlibat dalam kegiatan ini. Oleh karena itu persoalan ini perlu diperhatikan secara serius oleh semua pihak, terutama pemerintah. Jika kondisi ini terus berlangsung dalam jangka panjang, maka dampaknya terhadap lingkungan akan semakin parah. Kegiatan ini bukan hanya terjadi dihutan produksi saja, tetapi lebih banyak terjadi pada kawasan konservasi yang mengakibatkan perubahan pada tutupan lahan. 
Tata guna tanah dan lahan di kabupaten Aceh Utara sekarang ini merupakan warisan alamiah dan telah berlaku sejak dahulu. Secara alami, telah terbentuk persawahan, kebun, hutan, rawa-rawa, tambak dan lain-lainnya. Untuk jelasnya, tata guna lahan di kabupaten Aceh Utara disajikan pada table berikut ini.

Tabel 1.a1
Tata Guna Lahan Kabupaten Aceh Utara

No
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persentase
1.
Persawahan
40.711
12,67
2.
Pekarangan/Bangunan
31.896
9,93
3.
Tegalan/Kebun
38.386
11,95
4.
Ladang/Huma
21.576
6,72
5.
Pengembalaan/Padang Rumput
4.497
1,40
6.
Sementara tidak Diusahakan
10.395
3,24
7.
Ditanam Pohon/Hutan Rakyat
35.512
11,05
8.
Hutan Negara
49.346
15,36
9.
Perkebunan
55.153
17,17
10.
Lain-lain
19.252
5,99
11.
Tambak
9.290
2,89
12.
Kolam/Tebat/Empang
675
0,21
13.
Rawa-rawa
4.555
1,42
Sumber : Aceh Utara dalam Angka, 2008

Tabel diatas memperlihatkan bahwa penggunaan lahan yang terluas adalah untuk hutan Negara dan lahan perkebunan. Disamping itu, lahan yang relatif luas juga digunakan untuk areal persawahan, tegalan/kebun, pekarangan dan bangunan, hutan rakyat, ladang/huma dan untuk areal lain-lain.
Sesuai dengan Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu secara Illegal dan Peredarannya diseluruh Indonesia, maka dibentuklah satuan tugas pemberantasan dan penebangan kayu secara illegal dikawasan hutan dan peredarannya diseluruh Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 2008, seluas 920 ha luas hutan dikabupaten Aceh Utara telah dirambah dan seluas 25 ha telah rusak akibat kebakaran hutan.
Luas tanah terbuka kawasan hutan kabupaten Aceh Utara menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Utara Tahun 2006 adalah 607.05 ha, badan air 987.45 ha dan luas lahan kritis 24.997 ha. Kenyataan ini belum seperti yang diharapkan. Salah satu indikator bahwa hutan kabupaten Aceh Utara telah rusak adalah bencana banjir pada musim hujan yang  tidak pernah absen hadir di beberapa kecamatan dalam kabupaten Aceh Utara dan kekurangan air pada musim kemarau.  Sehingga untuk menghindari dampak negatif dari hal tersebut dan punahnya keanekaragaman hayati serta terarahnya kebijakan pengelolaan sumber daya hutan, maka perlu segera dilakukan kegiatan penataan kembali sumber daya hutan berdasarkan arahan fungsinya yang berbasis pada pemberdayaan dan peningkatan pendapatan masyarakat untuk pemanfaatan yang lebih optimal dan menjaga kelestarian alam.
Secara umum sejak 10 tahun terakhir, aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu oleh HPH dan HTI di kabupaten Aceh Utara bisa dikatakan tidak beroperasi dikarenakan kondisi keamanan yang tidak kondusif. Berdasarkan laporan statistik Kehutanan Provinsi Aceh Tahun 2001-2006, 2 unit Hutan Tanaman Industri (HTI) di kabupaten Aceh Utara  yang izin operasinya masih berlaku sampai dengan periode tersebut statusnya tidak aktif karena situasi keamanan. Sehubungan dengan berlangsungnya kegiatan Moratorium Logging, untuk mengetahui kebutuhan kayu disetiap kota maupun kabupaten diminta untuk menyusun rencana kebutuhan kayu.

Tabel 1.a2 Rencana Kebutuhan Kayu
Kabupaten Aceh Utara Thn 2008

No
Kebutuhan Kayu
Keterangan
Kayu Olahan (m3)
Kayu bulat (m3)

1.

54.000

90.000

Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik batu bata

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Utara tahun 2008

Kebijakan untuk menyusun rencana kebutuhan kayu disetiap kota maupun kabupaten bertujuan untuk mengetahui keseimbangan suplay dan demand hasil hutan kayu yang diperlukan untuk kegiatan pembangunan di Aceh, terutama untuk kebutuhan rehab-rekon yang dilakukan oleh BRR dan NGO. Sehingga untuk selanjutnya dapat diterapkan kebijakan yang tepat terhadap pengelolaan hutan lestari berkelanjutan. Dalam rangka pemenuhan kayu tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mengambil kebijakan untuk memanfaatkan kayu-kayu rakyat atau kayu kampung.
Hasil hutan yang menonjol pada tahun 2006 adalah rotan semambo (produksinya 6.000 ton), rotan sabutan (10 ton), rotan getah (10 ton), rotan campuran (8 ton) dan kayu rakyat (2.339,42 m3). Disamping itu masih banyak hasil hutan yang belum dimanfaatkan seperti kayu meranti, kruing dan pinus merkusi serta jenis kayu campuran lainnya. Semua ini merupakan potensi hutan yang dapat diandalkan pada masa mendatang.
Sesuai dengan RTRW Aceh Utara (tahun 2006), kawasan hutan lindung diarahkan dibagian selatan yaitu pada dua hamparan. Pertama, hamparan di kecamatan Cot Girek dan Langkahan (bagian hulu dari Krueng Jambo Aye dan Krueng Peuto). Kedua, hamparan yang terdapat di kecamatan Meurah Mulia dan Paya Bakong (bagian hulu dari Krueng Pase dan Krueng Keureuto dikaki Gunung Geureudong). Selanjutnya, dibagian selatan wilayah kabupaten Aceh Utara juga terdapat kawasan hutan produksi tetap yang juga berlokasi berhampiran dengan kawasan budidaya (untuk pengembangan hutan rakyat), disamping bagian wilayah selatan juga termasuk dalam kawasan ekosistem Leuser.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar