Rabu, 20 Juli 2011

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 tahun 2010

Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor: 14 Tahun 2010 Tanggal : 7 Mei 2010
TATA LAKSANA PENYUSUNAN DOKUMEN EVALUASI LINGKUNGAN HIDUP
(DELH) DAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (DPLH)

1. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penyusunan DELH atau DPLH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai kewenangan penilaiannya atas DELH atau DPLH sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.   Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri melakukan verifikasi terhadap permohonan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menggunakan kriteria:
a.     telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b.    telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c.     lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan; dan
d.    tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka usaha dan/atau kegiatan dimaksud tidak dapat diproses melalui mekanisme DELH atau DPLH.

3. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri menggolongkan usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan penyusunan DELH atau DPLH mengacu pada Peraturan Menteri yang mengatur tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal. Apabila tergolong sebagai usaha dan/atau kegiatan wajib amdal, maka wajib DELH, atau apabila tergolong sebagai usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL, maka wajib DPLH.

4. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan DELH, maka:
a. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota,
1)       kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada kepala instansi lingkungan hidup provinsi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
2)       kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi usulan penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan usulan penetapan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada Menteri melalui Deputi Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan penyusunan.
b. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan provinsi, kepala instansi lingkungan hidup provinsi melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan menyampaikan usulan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada Menteri melalui Deputi Menteri dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
c. untuk usaha dan/atau kegiatan yang menjadi kewenangan Pusat, Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan menetapkan permohonan penyusunan DELH yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan tembusan kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan kepala instansi lingkungan hidup provinsi.

5. Dalam hal terjadi keberatan terhadap usulan permohonan dan/atau penetapan DELH, Menteri melakukan koordinasi dengan instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dan/atau instansi lingkungan hidup provinsi untuk menyelesaikan keberatan yang diajukan.

6. Dalam hal tidak ada keberatan sebagaimana dimaksud pada angka 5, maka berdasarkan usulan penyusunan DELH dan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf c, Deputi Menteri menetapkan usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun DELH. Penetapan dimaksud diterbitkan dalam bentuk surat perintah penyusunan DELH.

7. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk menyusun DELH melakukan penyusunan DELH sesuai dengan format pada Lampiran II Peraturan Menteri ini.

8. Bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan DPLH, maka:
a. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri melakukan verifikasi permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
b. dalam hal verifikasi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 2, kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri menetapkan permohonan DPLH dalam bentuk surat perintah penyusunan DPLH.

9. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk menyusun DPLH melakukan penyusunan DPLH sesuai dengan format pada Lampiran III Peraturan Menteri ini
.
10. Dalam hal DELH telah selesai disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, maka:
a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DELH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangannya.
b. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DELH.
c. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri setelah menerima DELH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas melakukan penilaian terhadap DELH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian dokumen amdal. Mekanisme penilaian dimaksud dilakukan dalam bentuk rapat dengan mengundang wakil dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

11. Dalam hal DPLH telah selesai disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, maka:
a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan permohonan penilaian DPLH kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangannya.
b. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah memenuhi format penyusunan DPLH.
c. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi atau Deputi Menteri setelah menerima DPLH yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas melakukan penilaian terhadap DPLH yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani penilaian UKL-UPL.

Senin, 11 Juli 2011

Penegakan Hukum Lingkungan Aceh Utara


Meningkatnya kegiatan pembangunan & pertumbuhan penduduk mengandung resiko terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, akibatnya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan akan rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup akan merupakan beban sosial yang pada akhirnya masyarakat pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai akibat kegiatan pembangunan, perlu memasukkan pertimbangan lingkungan kedalam kegiatan pembangunan. Sebagai landasan pelaksanaan kegiatan tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan semua peraturan pelaksanaan lainnya. Dalam pengelolaan lingkungan hidup terkandung prinsip-prinsip dasar yaitu antara lain keterpaduan, pencegahan dan transparansi. Dengan demikian maka aspek penindakan diharapkan terjadi sekecil mungkin. Hal ini didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas baik dari segi waktu, biaya dan tenaga yang harus dihabiskan untuk dapat menyelesaikan satu perkara di pengadilan. Tetapi pada kenyataannya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terus saj meningkat, oleh karena itu penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup menjadi penting diterapkan.
Pengertian penegakan hukum merupakan tindakan untuk menerapkan perangkat hukum lingkungan dalam rangka memaksakan sanksi hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan menjadi kewajiban semua pihak, dimana pemerintah sebagai regulator perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap pengembangan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup secara berkesinambungan. Di lain pihak secara bersamaan mempunyai kewajiban mendorong penegakan hukum lingkungan baik bagi aparatur pemerintah maupun bagi masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya.
Untuk menciptakan suatu kondisi yang menjamin terlaksananya penegakan hukum lingkungan, arah kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut :
·         Mengembangkan budaya hukum diseluruh lapisan masyarakat. Budaya hukum adalah sikap dan perilaku seluruh anggota masyarakat termasuk para penyelenggara Negara memiliki kesadaran, ketaatan dan kepatuhan serta menjunjung tinggi hukum dalam kerangka supremasi dan tegaknya Negara hukum.
·         Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan pelaku pembangunan termasuk masyarakat, dunia usaha dan aparat pemerintah yang dilandasi dengan etika dan moralitas guna mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan.
·         Meningkatkan sarana dan prasarana hukum misalnya informasi hukum, piranti aparat penyidik termasuk laboratorium dan lain-lain. Ini semua untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
·         Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
·         Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi azas kebenaran dan keadilan. Dengan demikian maka kepastian hukum segera didapat dan masyarakat luas dapat menikmati peradilan yang diharapkan.
·         Mengembangkan peraturan perundangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional, termasuk lingkungan hidup dengan keanekaragaman hayatinya.
·         Mengembangkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar peradilan. Ini hanya untuk sengketa perdata. Diharapkan dengan adanya penyelesaian sengketa lingkungan

Harus disadari bahwa sikap tegas terhadap penerapan hukum bagi pelanggaran hukum lingkungan hidup akan menimbulkan berbagai konsekuensi ekonomi, tenaga kerja dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam pengelolaan lingkungan hidup penerapan prinsip mengutamakan pencegahan akan lebih menguntungkan daripada penanggulangan.
Sesuai dengan Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya diseluruh Indonesia maka pemerintah daerah Aceh Utara menindaklanjutinya dengan pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan dan penebangan kayu secara illegal dikawasan hutan dan peredarannya diseluruh kabupaten Aceh Utara. Adapun kegiatan-kegiatan pelanggaran yang dapat diberantas sejak pembentukan satgas tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Tanggal 18 Agustus 2006, dijalan raya Banda Aceh – Medan Kec. Lhoksukon kerjasama dengan Polres Persiapan Lhoksukon menangkap 2 (dua) unit truck jenis Interculer dengan ± 65 (enam puluh lima) ton kayu olahan berbagai jenis dan ukuran beserta 2 (dua) orang tersangka dengan tingkat penyelesaian tersangka telah divonis kasasi MA dan barang bukti telah dilelang.
2.      Tanggal 29 Agustus 2005, dikawasan hutan Negara kecamatan Cot Girek gabungan dengan anggota Polres Persiapan Aceh Utara berhasil menanggkap 6 (enam) orang pelaku, 2 (dua) unit traktor, 2 (dua) unit chainsaw, ± 6 (enam) ton kayu olahan dengan tingkat penyelesaian telah divonis Pengadilan Negeri Lhoksukon dan barang bukti telah dilelang.
3.      Tanggal 9 Februari 2006, dikecamatan Lhoksukon dalam operasi Rutin Polisi Hutan berhasil menangkap 1 (satu) unit truck colt diesel beserta ± 5,5 ton kayu olahan sedangkan para tersangka melarikan diri, barang bukti telah dilelang.
4.      Tanggal 25 Maret 2006, di Krueng Mane kecamatan Muara Batu Operasi gabungan dengan Polresta Lhokseumawe berhasil menangkap 1 (satu) unit truk dengan muatan kayu olahan 4,5 ton beserta 2 (dua) orang tersangka, tingkat penyelesaian telah divonis Pengadilan Negeri Lhokseumawe dan barang bukti telah dilelang.
5.      Tanggal 5 April 2006, dikawasan hutan produksi dikecamatan Cot Girek operasi gabungan dengan Polres Persiapan Aceh Utara berhasil mengamankan ± 4 (empat) ton kayu olahan dan peralatan penarik kayu nok dan kerbau.
6.      Tanggal 1 Agustus 2006, dikawasan hutan lindung Alue Bidari kecamatan Cot Girek dalam operasi rutin polhut berhasil mengamankan alat-alat penarik dan pembelah kayu yaitu 1 (satu) unit mesin merk kobuta, 1 (satu) buah kabel sling, peralatan mesin dan lain-lain.
7.      Tanggal 14 Januari 2007, dijalan raya Medan-Banda Aceh kecamatan Samudera menangkap 1 (satu) unit truck fuso beserta 10 (sepuluh) M3 kayu olahan dan dokumen mobil diserahkan ke Polres Syamtalira Bayu.
8.      Tanggal 28 Januari 2007,di Buket Linteung kecamatan Langkahan dalam operasi penanggulangan gajah liar menemukan 3 (tiga) unit mesin piringan pembelah kayu (sawmil)  tanpa dilengkapi perizinan yang sah. Menyegel dan menyita 3 (tiga) buah mata piring gergajian hingga proses perizinan selesai.
9.      Tanggal 19 Februari 2007, dilokasi transmigrasi lokal Lubuk Tilam kecamatan Cot Girek dalam operasi rutin polhut menemukan tumpukan kayu yang diduga hasil penebangan liar, barang bukti diamankan ke Kantor Disbunhut Kabupaten Aceh Utara.
10.  Tanggal 10 Maret 2007, dijalan  raya Medan – Banda Aceh kecamatan Baktiya kerjasama dengan anggota Polsek Baktiya berhasil menangkap  2 (dua) unit truk jenis colt diesel beserta 7 (tujuh) ton kayu olahan jenis dammar laut, dalam proses penyelidikan perkara, barang bukti diamankan dikantor Disbunhut Kabupaten Aceh Utara.
11.  Tanggal 28 Maret 2007, dilokasi hutan lindung Alue Bidari dalam operasi rutin polhut menemukan 3 (tiga) ton kayu olahan berbagai jenis dan ukuran selanjutnya barang bukti dibawa dan diamankan pada Kantor Disbunhut Kabupaten Aceh Utara untuk menunggu proses hukum lebih lanjut.

Amdal Aceh Utara


 AMDAL adalah  singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang dibuat pada tahap perencanaan dan digunakan untuk pengambilan keputusan tentang pemberian izin penyelenggaraan bagi sebuah usaha dan/atau kegiatan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL meliputi aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perizinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perizinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan izin usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
·         Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) yaitu tentang ruang lingkup kajian AMDAL
·         Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yaitu telaahan cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
·         Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) yaitu upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
·         Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yaitu upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen ANDAL, RKL dan RPL diajukan bersama-sama untuk selanjutnya dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberikan izin atau tidak.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, Pemrakarsa dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementrian Lingkungan Hidup, di tingkat provinsi berkedudukan di Bapedalda/instansi pengelola lingkungan hidup provinsi dan di tingkat kabupaten/kota berkedudukan di Bapedalda/instansi pengelola lingkungan kabupaten/kota. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Sedangkan masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain; faktor kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha da/atau kegiatan, faktor pengaruhekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya.
Bagi usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL yaitu usaha dan/atau kegiatan yang dampaknya bagi lingkungan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia, diharuskan melaksanakan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi; Identitas Pemrakarsa, Rencana Usaha dan/atau Kegiatan, Dampak Lingkungan yang akan Terjadi, Program Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup.
Namun demikian, di Kabupaten Aceh Utara masih banyak terdapat  usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL belum memiliki UKL dan UPL. Sehingga Pemerintah Aceh Utara melalui Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Utara harus bekerja ekstra untuk segera mensosialisasikan dan menertibkan  usaha dan/atau kegiatan yang berdampak pada lingkungan untuk membuat UKL – UPL dan bersama-sama menjaga lingkungan.
Komisi Penilai AMDAL Kabupaten Aceh Utara  baru terbentuk dalam 2 tahun terakhir yaitu sejak tahun 2009 – 2010. Berikut dokumen-dokumen yang  dinilai oleh Komisi tahun 2010:
1.      KA-ANDAL Rencana Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (UPHHK-HTI) di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Pemrakarsa PT. Rencong Pulp dan Paper Industry.
2.      KA-ANDAL Rencana Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (UPHHK-HTI). Pemrakarsa PT. Rencong Pulp dan Paper Industry.
3.      KA-ANDAL Pembangunan Jalan Highway Lintas Timur Aceh Seleksi 3. Pemrakarsa PT. Multidecon Internal.
4.      KA-ANDAL Pembangunan Jalan Highway Lintas Timur Aceh Seleksi 3. Pemrakarsa PT. Multidecon Internal.
5.      UKL – UPL Perkebunan Kelapa Sawit Lhoksukon. Pemrakarsa PT. Blang Ara Company
6.      KA-ANDAL PembangunanJalan Cot Girek Samar Kilang. Pemrakarsa Pemerintah Aceh.
7.       UKL – UPL Pembangunan RSUD Lhoksukon.